HAKEKAT TEOLOGIA
A. Definisi
Teologi
Seorang teolog orthodox dari Princeton,
teologi adalah “Ilmu yang membicarakan tentang Allah dan alam semesta”. Dengan
penegasan bahwa teologi bahwa teologi adalah suatu ilmu, ia hendak menekankan
fakta bahwa Allah itu ada, dan bahwa Allah yang berada itu berhubungan dengan
ciptaan-Nya. Sebab seandainya tidak ada Allah yang berada itu tidak berhubungan
dengan ciptaan-Nya, teologia juga tidak pernah ada.[1]
Sedangkan Shedd, “Teologi adalah suatu ilmu yang berhubungan dengan yang tak
terbatas dan yang terbatas, dengan Allah dan alam semesta”.[2]
Dengan pengertian ini, selain manusia dan alam yang menjadi objek penelitian,
teologi terutama berupaya mengetahui tentang Allah.
Berbeda dengan pemahan kaum Liberal, teologi
adalah “interpretasi metodikal dari materi pokok iman Kristen. Dengan
pengertian ini, Tilich menganggap istilah “Allah” tidaklah terlalu penting
karena “Allah” adalah sebuah symbol yang diperoleh dari kesadaran religious.
“Allah” bukan sesosok Pribadi Yang Ada; Ia adalah Yang Ada itu sendiri (being
itself, not a being). Jadi, “Allah” itu melingkupi segala sesuatu dan Ia berada
di dalam segala sesuatu. Karena “Allah” melampui dan di luar dari esensi dan
eksistensi, maka segala usaha untuk membuktikan eksistensi”Allah” tidak dapat
diterima. Bagi Tilich, masalah eksistensi “Allah” tidak dapat dipertanyakan
atau dijawab. Oleh sebab itulah, bagi Tilich hanya ada satu titik mula
berteologia yang sah, yakni dimulai dari manusia dan pengalaman manusia atas
realita.[3]
Defenisi dari pemahaman Liberal
mengandung kelemahan, karena dengan demikian teologia menjadi independen atau
tercerai dari Alkitab. Teologi seharusnya berkenaan dengan Allah dan
ciptaan-Nya seperti yang dimengerti dari Akitab. Sebab itu, definisi teologi
yang benar adalah sebagai berikut: teologi adalah pengetahuan yang sistematis
tentang Allah dan hubungannya dengan ciptaan-Nya seperti yang dipaparkan dalam
Alkitab. Teologi Kristen bukan hanya melulu mendalami Alitab, tetapi juga
bertanggung jawab untuk mendalami dan mengerti setiap bagian penerapannya, serta
mengerti cara-cara pelaksanaan supaya penerapan tersebut dapat terjadi.
B. Sumber-sumber
Teologi
Teologi yang sehat pertama-tama sekali
harus mengacu pada Alkitab sebagai sumber untuk mendapatkan “bahan mentahnya”.
Singkatnya, dalam berteologi, Alkitab merupakan suatu keharusan untuk diteliti,
tetapi bukan merupakan “barang” yang sudah jadi. Apabila dikatakan bahwa
Alkitab merupakan keharusan, itu berarti bahwa apa yang dikatakan oleh
seseorang tentang Allah dan menusia dalam berteologi haruslah sinkron dengan
ajaran Alkitab.
Sumber teologi selanjutnya adalah melihat
kepada semua “barang” yang sudah jadi, misalnya dengan mempelajari apa yang
sudah dihasilkan di dalam teologi biblika, teologi historika, dan teologi
filosofika. Teologi biblika adalah menelusuri perkembangan suatu tema tertentu
(misalnya, perjanjian) akan menyajikan meteri yang luas dari Alkitab secara
progresif.[4]
Teologi historika adalah memberikan kontribusi dengan memperlihatkan berbagai
cara penafsiran Alkitab yang pernah dilakukan gereja atau teolog di masa yang
lampau. Sedangkan, teologi filosofika adalah membantu untuk merelevankan
pemikiran teologis dengan cara kritis memaparkan isi teologi kepada dunia
kontemporer.
Selain itu, tradisi gereja dapat menjadi
sember teologi (pengajaran atau kebiasaan tertentu). Yang dimaksud dengan
tradisi adalah penafsiran yang otoritatif tentang suatu bagian Alkitab yang
diwariskan turun-temurun. Namun tradisi juga mengandung bahaya, yaitu apabila
penafsiran Alkitab itu melampaui apa yang diajarkan Alkitab, dan sering tradisi
juga dapat dijunjung tinggi melebihi wibawa Alkitab. Adalah tugas teologi untuk
mempertimbangkan tradisi di bawah terang firman Tuhan dan mengembangkannya
sesuai dengan suasana tiap zaman.
C. Pentingnya
teologi yang bersistem
Seseorang tidak dapat mengenal wahyu
Allah seutuhnya seperti yang dinyatakan di dalam Alkitab, apabila keseluruhan
isi Alkitab itu tidak dipelajari sebagai suatu system secara keseluruhan.
Mengetahui wahyu tersebut sebagian atau beberapa bagian saja tanpa membawa
bagian-bagian tersebut ke dalam relasi dengan bagian totalitasnya, tidak
menjamin bahwa wahyu itu akan dikenal seutuhnya. Jadi, dengan pikiran yang
dikaruniai Allah, orang Kristen harus berpikir secara sistematis, dan
menjabarkan isi wahyu Allah itu secara sistematis pula.[5]
Karl Barth berpendapat bahwa dengan
pemakaian istilah sistem di dalam teologia, manusia sebetulnya mengabaikan
fakta bahwa pikiran konseptual dan bahasa manusia itu sebenarnya terbatas. Dari
satu segi boleh dikatakan bahwa setiap pengertian manusia tentang kebenaran
Allah itu bersyarat. Teologi harus berada di bawah “penghakiman” Alkitab serta
harus terbuka untuk berkembang melihat situasi konteks di mana teologia itu
diajarkan. Untuk memahami komunikasi yang berarti dari Allah, manusia perlu
mempergunakan rasionalitasnya dalam batas-batas tertentu. Yang dimaksud di sini
adalah bahwa teologi itu rasional.[6]
Tambahan lagi, dunia sekarang ini
membutuhkan kebenaran untuk menjawab segala permasalahan yang melanda
kehidupan. Teologi wajib membawa kebenaran Allah ke dalam dunia dan teologi
dengan sendirinya akan mempengaruhi pola kehidupan manusia karena pikiran atau
ide itu akan mempengaruhi kehidupan. Kekristenan perlu memikirkan bagaimana
menyajikan kebenaran kepada dunia dalam perbuatan atau praktek yang nyata.
[1]
Menurut B.B. Warfield pada tahun 1851-1921 dari Princeton.
[2]
Defenisi menurut W.G.T. Sheddguru besar teologi sistematika di Union
Theological Seminary antara 1874-1890.
[3]
Definisi teologi menurut Paul Tilich tahun 1886-1965, teologi liberal.
[4]Gerarhd. F. Hassel, Teologi Perjnjian Lama, (Malang:
Penerbit gadum Mas, 1992), hlm.113-127.
[5]B.B.
warfield, teologi sistematik,
(malang: Gandum Mas, 1984), hlm. 83.
[6]
Penegasan oleh B.B Warfield, “The Task and Method of Sistematyc Theology”,
Studies in Theologiy, 95.
Komentar
Posting Komentar